Thursday, 4 February 2016

POLITIJES: POLITIK DALAM MUSIK JAZZ - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato, February 2016)

POLITIJES:
POLITIK DALAM MUSIK JAZZ
by: Michael Gunadi Widjaja
Staccato, February 2016


DEFINISI POLITIK DALAM MUSIK
“POLITIJES” adalah istilah yang saya buat untuk merangkum seluk beluk dan sepak terjang Musik Jazz dalam ranah politik. Jadi POLITIJES adalah POLITIJAZZ yang adalah Jazz in The Politics. Terlebih dahulu perlu ditekankan bahwa pengertian politik di tiap negara dan bangsa adalah sangat berbeda. Dalam tulisan ini politik yang dimaksud BUKAN POLITIK PRAKTIS DAN PRAKSIS, melainkan adalah hal ikhwal yang berkenaan dengan hidup berbangsa dan bernegara.

MUSIK SEBAGAI PROPAGANDA
Sudah lama sebetulnya, musik menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam politik. Adolf Hitler menggunakan musik karya Richard Wagner dan Ludwig van Beethoven sebagai alat propaganda keunggulan Ras Aria Jermania. Sampai detik ini pun propaganda sedemikian masih terjadi. Meski tentu saja maksud dan tujuannya sangat berbeda. Kita tentu telah maklum, Partai Politik di Indonesia saat ini rame-rame membuat MARS PARTAI, membuat “LAGU KEBANGSAAN PARTAI,” dan tak ada kampanye partai yang tak menyertakan musik. Secara khusus, Jazz sebetulnya adalah mazhab atau genre music yang kental sekali dalam interaksinya dengan ranah politik.


BE BOP: SUARA KEBEBASAN DALAM MUSIK JAZZ
Awalnya adalah ketika lahir aliran dalam Musik Jazz yang dikenal sebagai BE BOP. Saat itulah orang kulit hitam di Amerika terpanggil untuk menyuarakan kebebasan. Dan rupanya, Jazz menyuarakan kebebasan secara jauh lebih baik dibandingkan dengan milyaran kata. Seorang Charlie Parker memainkan “NOW IS THE TIME” yang kala itu seperti sebuah tanda dimulainya perubahan sosial masyarakat kulit hitam. Charles Mingus membuat musik berjudul “FABLE OF FAUBUS” pada tahun 1959 sebagai reaksi atas sikap ORVAL FAUBUS yang saat itu adalah Gubernur yang sangat rasis terhadap orang kulit hitam di negara bagian Arkansas (baca: ARKANSAU).