Wednesday, 1 January 2025

SEKELUMIT - by: Michael Gunadi | Staccato, January 2025

SEKELUMIT
By: Michael Gunadi
Staccato, January 2025


Jika bicara soal Gamelan dari sudut pandang musik barat, tentu yang terbersit dalam benak secara langsung adalah karya Claude Debussy, dan tentu Leopold Godowsky. Bagi yang piknik nya lumayan jauh, bisa menyebut karya Lou Harrison dan Collin McPhee. Bagi yang sering piknik bisa ditambah dengan Jody Diamond atau malahan Gamelan X (yang sekarang entah gimana nasibnya). Lalu mungkin ada yang berceloteh. Bagaimana dengan Pak Sumarsam? Beliau sudah malang melintang dan lintang pukang mengajar dan mempopulerkan Gamelan di USA. Terus bagaimana juga dengan Mas Rahayu Supanggah. Mas Otto Bima Sidharta. Hmmm. Ya kenapa dengan beliau-beliau itu. Beliau-beliau tersebut sudah moksa dalam keabadian karyanya. Secara ritual. Kompositoris maupun atma nya. Tulisan ini mau mengetengahkan pernik yang mungkin terlewat tentang Gamelan. Dipersandingkan dengan budaya musik barat karena pembaca majalah ini didominasi oleh kaum piano dan musik budaya barat.

 

Apa sih Gamelan itu? Orkestra nya Jawa. Seperangkat bebunyian yang terdiri dari piranti Idiofon, kendang, suling, terus terkadang ada juga alat musik berdawai semisal rebab, kecapi. Perangkat bebunyian ini bisa dimainkan antara 3 sampai 20-an manusia. Sejatinya, sejalan dengan napak tilas peradaban manusia, Gamelan juga memiliki sejarah napak tilas yang sangat panjang. Sebetulnya, Gamelan itu, bagi yang sempat mencermati ya, juga mengalami perkembangan. Banyak unsur-unsur budaya lain yang masuk dalam Gamelan. Sebut saja misalnya dari ragam budaya musik India, China, Persia, Eropa. Malahan sejak tahun 1990-an sudah ada karya komposisi Gamelan yang berbirama ¾ dan berirama Waltz. Tentu saja tak ketinggalan selusupan musik DangDut.


Secara antropologis, latar belakang kebudayaan bisa mengakibatkan pandangan yang berbeda-beda terhadap berbagai macam hal Misalnya saja cara menutup bagian “terlarang” tubuh. Demikian juga pandangan tentang musik. Banyak perbedaan pandangan tentang sajian musik antara bangsa-bangsa di kawasan timur dengan bangsa-bangsa di kawasan barat. Banyak orang menganggap bahwa bangsa Eropa yang adalah budaya barat bersifat lebih individual, rasionil, relaistis, dan menonjolkan hal-hal yang bersifat praktis. Dengan demikian, logikanya, musik budaya barat juga demikian. Musik Eropa atau budaya barat menyiratkan kesan LEBIH DIATUR (bukan DIATUR ya) dan dikonsep atau dirancang dan dipersiapkan terlebih dahulu. Hal-hal semacam itu sangat nampak pada karya-karya Abad Pertengahan. 



Seorang Komposer musik barat, mengarang musik di atas kertas. Ia membuat musik dengan sangat patuh pada aturan aturan, tata norma yang sudah didalilkan. Melodi dibagi bagi dalam banyak birama. Semuanya terkonsep dan diperhitungkan dengan sangat presisi. Maka tidak heran jika musik barat akan menimbulkan persepsi sebagai sesuatu yang bisa saja melebihi akal alias bersifat sebagai Fantasi. Dalam membawakan musik pun, para pemusik musik barat “dituntut” untuk dapat menyajikan musik sesuai dengan dalil-dalil bermusik yang sudah lazim. Selain itu sifat tekstual sangat penting. Penyajian yang jauh menyimpang dari score/partitura akan mendapat gempuran dan gamparan. Lalu bagaimana dengan Improvisasi? Tetap saja. Improvisasinya bagaikan macan liar tapi berkeliaran dalam kandang besi yang extra super ketat.

 

Sangat jauh berbeda dengan budaya Jawa. Bagi masyarakat Jawa, suasana musikal lebih penting daripada kesempurnaan teknik bermain musik. Bagi orang Jawa, yang namanya komposisi musik tidak terbatas pada konser semata. Melainkan seluruh relung kehidupan. Karya musik dipersembahkan untuk berbagai kepentingan - ritual, pesta desa, nikahanbahkan sampai asmara dan urusan wanginya ranjang. Siapapun yang menyukai, boleh dan sah saja untuk menyadur karya musik tersebut dan membawakannya dengan sesuka hati. Tentu sesuka hati bukan berarti ngawur dan merusak ya.

 

Musik dalam budaya Jawa bersifat KOMUNAL. Musik adalah milik bersama. Karenanya nama sang Pengarang musik dalam musik Jawa menjadi sangat tidak penting dan terabaikan. Hal semacam ini, jujur saja, menjadi sesuatu YANG SANGAT FATAL DAN MEREPOTKAN di era jaman sekarang dalam hubungannya DENGAN HAK CIPTA MUSIK. Ditambah pula, orang Jawa tak peduli dengan mutu sajian. Suara cempreng, tempo yang terseret seret, sama sekali tidak menjadi soal. Yang penting pokoknya suasananya KENA DAN MASUK. Namun sekali lagi, jangan diartikan musik Jawa boleh dibawakan secara ngawur. Dalil dan Norma TETAP ADA. Hanya saja bukan dalam rangka pencapaian performansi yang sempurna melainkan sebagai rambu pembatas kelayakan performansi saja. Yang unik lagi, sebuah Gendhing Gamelan adalah sebuah musik yang terkomposisi secara bertahap. Nah, tahap atau proses inilah yang dijunjung tinggi dalam budaya musik Jawa dan bukan an sich musiknya.

 

Bagi Anda yang belum terbiasa mendengarkan musik Gamelan Jawa, anda akan merasa jenuh, bosan dan terkantuk-kantuk. Semuanya terasa monoton. Dan memang begitulah Gendhing Gamelan Jawa. Suara dan musikalitas hanya direpresentasikan dengan dua tiga nada saja yang berputar-putar dan berulang-ulang. Namun sebetulnya, setiap perulangan selalu terdapat perubahan YANG BERSIFAT MIKRO. Misalnya: dari 3 nada tersebut dalam ulangan ke tiga tentu berbeda dengan sekuens pertama. Timbre pemukulnya atau Mallet nya berbeda. Ketukannya juga pasti tidak eksak sama. Feelnya juga pasti berbeda. Kelihatannya jika dipersandingkan dengan musik barat, hal seperti ini dianggap sebagai sebuah “kurang teratur”. Padahal ini adalah salah satu kekayaan musik Gamelan Jawa yang sangat luar biasa. Disamping tentu saja ada satu unsur yang adalah BERMAIN MAIN IRAMA DENGAN RASA DAN BUKAN DENGAN PRESISI KETUKAN METRUM. Dalam musik Gamelan jawa, hal ini dikenal sebagai MONGGANG DAN GANGSARAN. 

 

Nampaknya sangat perlu untuk mensitir hasil penelitian Professor DR. Mantle Hood tentang kekayaan musik Gamelan Jawa. Beliau adalah musikolog dari Amerika Serikat dan pendapat professionalnya tentang musik Gamelan Jawa saya rasa sangat representatif. Hal-hal prinsipnya, tentu ini sejalan dengan pendapat saya pribadi, adalah sebagai berikut.



TUNING SYSTEM

Banyak orang menganggap bahwa Musik Budaya Barat LEBIH MAJU dalam hal Laras atau Tuning System. Musik barat itu hanya memiliki SATU LARAS ATAU SATU TUNING SYSTEM SAJA. Satu laras terdiri dari 12 titi laras (kita menyebutnya NADA) dan tiap titi laras memiliki SWARANTARA (atau Interval) yang persis ternumerik sebagai ½. Gamelan memiliki 2 Laras atau Tuning System. LARAS SLENDRO DENGAN 5 TITI LARAS atau nada dan LARAS PELOG dengan 7 Titi Laras. Swarantaranya pun ada yang jauh dan dekat. Tak seperti dalam musik barat yang Swarantaranya selalu ½. 

 

Sebetulnya 12 Titi Laras seperti Musik barat itu sudah dipakai dalam Musik China sejak 5000 tahun yang silam. Keunikan lain Laras Gamelan Jawa adalah: jumlahnya 12 Titi Laras. Namun pada Laras Pelog ada tambahan 2 titi laras lagi untuk Gerong (vocal), Rebab dan Suling. Masih ada lagi nada atau Titi Laras yang digunakan sebagai variasi. Ini disebut Sliring. Sliring ini bisa lebih rendah atau tinggi dari Titi Laras Pokoknya. Sebetulnya, bukan hanya Gamelan Jawa yang memiliki sliring semacam ini. Arab, Persia, Korea, Jepang, Cina juga memiliki Sliring semacam ini. Di Arab istilahnya Hijaz. Dan pada Tuning System barat ini duterjemahkan menjadi bukan interval ½ melainkan ¼ meskipun sebetulnya tidak pas ¼. Haduuuuuh. Pusing ya.

 


MODUS

Di Jawa, Sliring malahan adalah coloring dan embosing suatu sajian. Di Musik Barat jelas merupakan sebuah kesalahan fatal dan pasti langsung dicap FALS. Bahkan dalam jazz yang lebih “demokratis” pun, sliring seringkali ditengarai sebagai out of tune.Sebagai catatan, di Musik barat selain Tuning System yang terdiri dari satu scale dan diatonis, dikenal juga adanya MODE ATAU MODUS. Prinsipnya, tiap nada dalam sebuah tangganada atau scale bisa menjadi poros sebuah Tangganada atau Scale baru. Mode ini dipergunakan dalam musik Gereja Katolik yang lazim dikenal sebagai Gregorian Chant. Tinjauan lebih jauh, sebetulnya dapat dikatakan bahwa Mayor dan Minor pun sebetulnya adalah Mode. Sebagai Mode atau Modus, Mayor dan Minor memiliki karakter yang lazim ditengarai banyak orang dari mulai guru amatiran sampai guru professional. Lazimnya, meski tidak dalam musik nuansa etnis Eropa, Mayor berkarakter kuat, riang, gembira. Sedangkan minor, hehe, tentu ya kebalikannya.



BEM

 

Gamelan Jawa pun memiliki karakteristik demikian. Slendro: Menggembirakan, lincah, penuh gaya dan riang. Sedangkan Pelog lebih Wingit atau mistis,tenang, agung dan sendu.Hal yang sangat perlu diingat adalah bahwa SANGAT SALAH LUAR BIASA jika kita menyamakan Slendro dan Pelog dengan Mayor dan Minor!  Mayor dan Minor adalah modus. Gamelan pun mengenal MODUS yang disebut dengan PATET (baca tet seperti pada burung betet). Tiap Laras memiliki 3 Patet. 

 

Jaap Kunst, sudah almarhum yang adalah musikolog Belanda, pernah memberi kesan begini: 2 diantara Patet dalam Laras Pelog, yakni Patet limo dan nem (bersama disebut PATET BEM, bagi telinga Eropa terdengar dengan kesan seperti B flat Major dan/atau D minor. Sedangkan yang satunya lagi, PATET BARANG terdengar seperti F Major dan/atau A minor. Apa maksudnya ? Yakni bahwa bagi orang Eropa, MAYOR DAN MINOR SEKALIGUS TERDAPAT HANYA DALAM SATU LARAS GAMELAN. Inilah salah satu luar biasanya Gamelan Jawa. Ditambah lagi, Mode mode Gamelan Jawa memiliki hubungan emosional bagi manusia Jawa. Tak seperti Mode musik Eropa yang hanya merupakan pernyataan klimaks emosional semata.



Setelah Anda berlelah lelah membaca sekelumit tentang Gamelan jawa, biasanya, Anda dan sangat banyak orang di bumi ini akan mengajukan pertanyaan klasik: Jika Gamelan jawa begitu kaya raya, kenapa ia kalah populer? Bahkan di tanah air sendiri, nasibnya sangat memprihatinkan. Jawabannya juga sangat klasik: Yakni pertama, Gamelan kalah populer oleh karena hegemoni barat. Ya kita sama-sama tau lah bahwa dunia ini sudah terlalu lama terkena westernisasi. Termasuk budaya tentu saja. Dan bahkan pola pikir. Disamping, tentu saja upaya pemolesan dan pengepakan budaya oleh Barat harus diakui memang lebih yahud. Sementara Gamelan tetap bersikukuh dengan tradisi. Sudah acapkali dicoba Gamelan dikawinkan dengan Musik Barat. Hasilnya ya tetap saja sampai pada satu titik Gamelannya seperti “tergerus” untuk akhirnya hanya menjadi alat perkusi ritmik semata.



Saya pernah mengeluhkan hal-hal semacam itu. Namun, Mas Slamet Abdul Sjukur sewaktu beliau masih malang melintang, memberi saya semangat. Bahwa nasib Gamelan tidaklah setragis itu. Di USA masih ada perkuliahan Gamelan. New Zealand masih marak. Jepang bahkan memasukkan Gamelan dalam kurikulum Sekolah Dasar. Manusia seperti Mas Sumarsam masih juga bisa melakukan riset. Mengajar. Memperkenalkan budaya Jawa melalui Gamelan. Ya begitulah. Lalu ada pertanyaan lagi: Bagaimana cara mempopulerkan Gamelan? Saya rasa tidak perlu ya. Karena selalu ada persimpangan jalan. Biar Gamelan mengawal tradisi. Biar bumi menentukan napak tilasnya. Jika Gamelan menjadi populer, saya kuatir saja nanti ada penabuh Gamelan pentas cuma pakai swimsuit.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.