Saturday, 1 February 2025

MENJADI MODERN ITU HARUS - by: Michael Gunadi | Staccato, February 2025

MENJADI MODERN ITU HARUS
By: Michael Gunadi
Staccato, Februari 2025

 


Artikel kali ini, akan mebahas tentang keadaan Musik Klasik yang kian buruk dan menyedihkan saat kita sebetulnya sudah memulai masuk pada dekade ketiga abad ke-21. Sebetulnya bahkan sejak tahun 1940-an dan 1950-an, para kritikus musik sudah mulai mengeluhkan bahwa sangat banyak para pemain musik klasik yang tidak bermain, menyanyi, atau membawakan Musik Modern. Hal ini mencapai puncaknya pada tahun 1960-an dan 1970-an. Namun, keluhan para kritikus musik tersebut, sebagian besar telah mereda selama 40 tahun terakhir. Mungkin saja, reda  karena tidak ada seorang pun di bidang Musik Klasik yang mau mendengarkan musik modern.

Tapi sekarang, saat ini kita sebetulnya sudah sampai pada titik dimana sudah ada lebih banyak musik modern hebat yang ditulis dan direkam dibandingkan sebelumnya, dan yang dimaksud dengan “modern” terkadang adalah karya para komposer yang berasal dari tahun 1940-an. Lihatlah rata-rata program konser simfoni, pertunjukan lagu atau instrumen solo, atau repertoar gedung opera favorit di dunia zaman sekarang. Kita tidak akan menemukan banyak hal. Jikapun ada sesuatu yang diprogram, yang ditulis lebih kuno dari awal tahun 1930-an, hampir selalu mengarah pada hal yang sama: yakni musik tonal oleh para Great Masters. 


Jika ada kebangkitan dalam dunia Musik Klasik, biasanya hal tersebut disebabkan oleh promosi beberapa komposer yang menulis musik yang lumayan indah dari pertengahan abad ke-18 hingga tahun 1930-an. Sebut saja semisal penemuan Florence B. Price. Peristiwanya merupakan anugerah bagi musisi klasik dan khususnya stasiun radio yang memutar Musik KlasikFlorence B. Price ini, dia menulis musik yang dibuat dengan baik namun impersonal, cantik dan menarik tetapi sejatinya tidak mengatakan apa-apa, dan yang paling menarik di sini adalah karena dia itu orang Afrika-Amerika, yang mana mereka dapat merasa nyaman dengan diri mereka sendiri dengan mempromosikannya, meskipun musiknya indah tapi tak mengandung “pesan” apapun.

Wednesday, 1 January 2025

SEKELUMIT - by: Michael Gunadi | Staccato, January 2025

SEKELUMIT
By: Michael Gunadi
Staccato, January 2025


Jika bicara soal Gamelan dari sudut pandang musik barat, tentu yang terbersit dalam benak secara langsung adalah karya Claude Debussy, dan tentu Leopold Godowsky. Bagi yang piknik nya lumayan jauh, bisa menyebut karya Lou Harrison dan Collin McPhee. Bagi yang sering piknik bisa ditambah dengan Jody Diamond atau malahan Gamelan X (yang sekarang entah gimana nasibnya). Lalu mungkin ada yang berceloteh. Bagaimana dengan Pak Sumarsam? Beliau sudah malang melintang dan lintang pukang mengajar dan mempopulerkan Gamelan di USA. Terus bagaimana juga dengan Mas Rahayu Supanggah. Mas Otto Bima Sidharta. Hmmm. Ya kenapa dengan beliau-beliau itu. Beliau-beliau tersebut sudah moksa dalam keabadian karyanya. Secara ritual. Kompositoris maupun atma nya. Tulisan ini mau mengetengahkan pernik yang mungkin terlewat tentang Gamelan. Dipersandingkan dengan budaya musik barat karena pembaca majalah ini didominasi oleh kaum piano dan musik budaya barat.

 

Apa sih Gamelan itu? Orkestra nya Jawa. Seperangkat bebunyian yang terdiri dari piranti Idiofon, kendang, suling, terus terkadang ada juga alat musik berdawai semisal rebab, kecapi. Perangkat bebunyian ini bisa dimainkan antara 3 sampai 20-an manusia. Sejatinya, sejalan dengan napak tilas peradaban manusia, Gamelan juga memiliki sejarah napak tilas yang sangat panjang. Sebetulnya, Gamelan itu, bagi yang sempat mencermati ya, juga mengalami perkembangan. Banyak unsur-unsur budaya lain yang masuk dalam Gamelan. Sebut saja misalnya dari ragam budaya musik India, China, Persia, Eropa. Malahan sejak tahun 1990-an sudah ada karya komposisi Gamelan yang berbirama ¾ dan berirama Waltz. Tentu saja tak ketinggalan selusupan musik DangDut.