Wednesday 7 May 2014

"CHEAT JAZZ" - by: Michael Gunadi Widjaja (Staccato May 2014)

"CHEAT JAZZ"
by: Michael Gunadi Widjaja
Article Staccato May 2014


A GREAT JAZZ MUSICIAN
Sewaktu saya masih kuliah di Aussie jurusan komposisi,pernah saya menjasi reporter radio.di kampus. Suatu hari, ada gitaris Jazz top yang konser di Aussie. Beliau adalah Earl Klugh. Gitaris Jazz yang berekspresi dengan gitar berdawai nylon. Dalam sebuah kesempatan, saya mewawancarai itu Mr. Earl Klugh. Salah satu pertanyaan saya waktu itu, berbunyi begini:

“Mr. Earl Klugh, kayak apa sih seorang musisi Jazz dikatakan bagus dan hebat?”
“Apakah yang hebat itu adalah mereka yang bisa berimprovisasi dengan teknik seperti akrobat sirkus?”

Dengan panjang lebar dan datar serta agak malas-malasan, Earl Klugh memberi keterangan yang kira-kira kalau dipadankan dalam bahasa Indonesia akan berbunyi begini: Musisi Jazz jelas sangat berbeda dengan musisi Klasik. Kita bicara dulu tentang musisi Klasik. Hanya dengan mendengar ataupun melihat satu lagu yang dimainkan saja, kita bisa langsung tepat menebak bahwa oh, si dia ini pianis klasik yang hebat. Hebat dalam teknik permainan maupun hebat musikalitasnya dan juga hebat pengetahuan musiknya, karena dia paham apa yang dia mainkan. Hanya dari satu lagu. Hal semacam itu tidak bisa kita pakai untuk mengukur kehebatan musisi Jazz. 



Ukuran hebatnya musisi Jazz bukan dari teknik yang mencengangkan. Melainkan dari KEMAMPUAN MENGOLAH IMPROVISASI YANG SELALU BARU. Musisi Jazz yang hebat harus mampu membuat improvisasi yang selalu baru pada kagu yang sama. Itulah sebabnya untuk mengetahui kehebatan musisi Jazz, tidak bisa hanya diukur dari ajang festival. Ranah yang paling pas mengukur kemampuan musisi. Jazz adalah DALAM SEBUAH CLUB JAZZ. Dan nggak bisa hanya dalam sekali penampilan. Setidaknya kita butuh dua atau tiga kali kesempatan melihat bagaimana kemampuannya mengolah improvisasi untuk lagu yang sama.


“IMPOVISASI” - SPIRIT & JIWA MUSIK JAZZ
Pendapat Earl Klugh tersebut sebetulnya senada dengan pendapat para kritikus Musik Jazz pada umumnya. Jazz bukanlah musik berbudaya literer meskipun ada catatan notasi untuk Musik Jazz. Jazz juga bukan manifestasi presisi seperti dalam Musik Klasik. Jazz itu musik komunal yang akan menjadi terlalu sederhana jika diukur hanya dari teknik permainan alat musik semata. Jangan pernah dilupakan bahwa seper sekian persen akar Musik Jazz adalah musik yang folklorik. Esensi dari Musik Folklore adalah sifatnya yang komunal termasuk spirit interpretasi dan apresiasinya. Dalam beberapa hal, Jazz tak ubahnya seperti Gendhing dalam Gamelan Jawa. Komposisinya dikarang dan dikreasi dalam situasi komunal. Rame-rame. Disajikan pun dalam kondisi yang diandaikan ada respon interaktif dari audiensnya. Baru setelah Benny Goodman dan Duke Ellington campur tanganlah Jazz mulai diorkestrasi. Kemudian dicari keterkaitan musikologisnya. Yang tentu saja berdasar sudut pandang dan.paradigma seni musik Eropa yang notabene adalah Musik Klasik. Maka munculah istilah Black Harmony, Blue Note, Scale Mode, dan sistem Tonal yang sebelumnya tidak dikenal oleh  musisi seperti Louis Armstrong dan Art Tatum.

Dari paparan yang mudah mudahan bisa dimaklumi sidang pembaca, dapat ditarik benang layangan - eh, benang merahnya. Bahwa tolok ukur dari nilai kelayakan dan.kehebatan musisi Jazz adalah dari kemampuannya berimprovisasi secara FRESH dan PASSIONATE. Ujung-ujungnya kita kembali lagi pada jiwa dari Jazz, yakni IMPROVISASI.


PROSES BELAJAR IMPROVISASI
Improvisasi dalam Musik Jazz itu sulit. Malahan amat sulit. Dan faktanya teramat banyak musisi yang belajar improvisasi selama puluhan tahun namun tak kunjung juga bisa berimprovisasi dengan pas. Saya sempat memantau murid murid dari almarhum Bubi Chen di masa-masa akhir usianya. Bubi Chen sudah dengan berbagai cara mengajar dan mendidik siswanya untuk bisa main Jazz terutama improvisasi. Sudah diterangkan dengan luar biasa terang bendenrang tentang membagun harmoni. Sudah diberi contoh dengan pas, bagus dan.kena sasaran. Disediakan juga referensi berkopor-kopor rekaman Jazz. Tetap saja yang bisa berimprovisasi hanya beberapa gelintir saja. Itupun masih harus dipertanyakan lagi, apakah improvisasinya bisa dikatakan sebagai olah rasa estetis Musik Jazz.

Kebanyakan musisi secara sangat ceroboh menganggap bahwa yang namanya improvisasi Jazz itu adalah mengisi melodi dari akor "miring" maksudnya miring tuh disonan. Hmmmmm. Payah. Hasilnya ya sudah barang tentu bikin sakit kepala dan muntah-muntah bagi yang mendengar. Demikian pelik dan sulitnya Jazz Improvisasi itu sampai ujian Jazz yang diadakan ABRSM pun tidak mewajibkan improvisasi. Melainkan secara fakultatif bisa diganti dengan sight reading.


JAZZ LITERER
Perkembangan zaman menjadikan beberapa komposer Musik Jazz tersadar. Bahwa banyak yang ingin main Jazz tapi belum "berani" berimprovisasi. Sebetulnya, belum berani berimprovisasi bukanlah hal yang buruk. Tanpa kemampuan improvisasi pun, seseorang tetap dapat bermusik dengan layak dan passionate. Namun demikian, kesenjangan di seputar improvisasi spontan, menjadikan sebuah ranah baru dalam komposisi musik. Tentu saja khususnya komposisi Musik Jazz. Diterbitkanlah apa yang saya namai sebagai JAZZ LITERER. Jazz literer adalah Jazz yang improvisasinya tidak spontan melainkan ditulis terlebih dahulu. Bentuknya bisa berupa improvisasi yang seratus persen gagasan baru. Bisa juga menulis part improvisasi yang pernah dilakukan Jazzer kenamaan. Tidak ada salahnya orang main Jazz Literer. Hanya saja INILAH PANGKAL PERSOALAN CHEAT JAZZ. Kecurangan yang nakal dalam bermain Musik Jazz. 


KECURANGAN DALAM IMPROVISASI
Cheat Jazz yang curang dan nakal seringkali dilakukan dengan cara begini. Improvisasinya itu bukan asli dari ide si musisi melainkan dia nyontek improvisasi yang sudah ditulis. Baik dari Jazz literer maupun dari buku panduan improvisasi Jazz. Kalau hanya sekali lihat dan sekali dengar tentu kita akan tercengang dan berliur mengatakan “Waaahhhh… nih pianis hebat ya improvisasinya!” Padahal improvisasinya dari hasil nyontek dan tanpa malu ngaku ngaku improvisasi milik orang lain. Hal cheating semacam ini barulah tersadari apabila kita mendengar permainan si musisi curang lebih dari sekali tentu saja dalam kesempatan yang berbeda. Kita segera tahu bahwa, lho kok tiap kali nada dan.pola improvisasinya sama ya. Memang tidak ada yang dirugikan dengan tingkah pola pelaku Cheat Jazz. “Dan kan cuma musik. Loe dibohongin juga gak bakalan mati.” Hanya saja memang secara moral menjadi dipertanyakan lagi: Bagaimana mau bermusik dengan passionate kalo dasarnya saja sudah bohong?”


BENTUK MANIPULASI CHEAT JAZZ
Daniel Barenboim pernah main Jazz Literer. Malah dalam sebuah album rekaman sebagai tribute untuk Duke Ellington. Tidak ada sama sekali improvisasi spontan. Maklumlah karena Barenboim adalah pianis klasik yang hebat dan sama sekali bukan pianis Jazz. Namun demikian, yang patut kita puji adalah sikapnya yang jujur. Barenboim TIDAK PERNAH MENYEBUT ALBUM NYA SEBAGAI JAZZ. Dia hanya mengatakan bahwa inilah musiknya Duke Ellington dan bukan Musik Jazz, meskipun yang mendengar sangat merasa nuansa Jazz yang sublim.

Sebetulnya bentuk Cheat Jazz sangat banyak. Musisi Jan Ackermann pernah kebakaran jenggot gara-gara dengan teknologi sampling digital karakter perkusinya dicuri oleh seorang musisi Jazz. Ada lagi buku karangan Richigliano. Dalam buku tersebut disertakan licks contoh improvisasi untuk berbagai struktur harmoni. Tanpa tahu malu, sangat banyak musisi yang mencontek licks dalam frase contoh tersebut dan dengan lagak dan gayanya ditampilkan. Kemudian dia dengan jumawa mengaku sebagi Jazzer. Sekali lagi gak ada yang rugi. Kan kita sebagai bangsa juga sudah terlalu sering dibohongin dan lagian cuma musik, bohong pun nggak ada efeknya. Hahaha…


VIRUS CHEAT JAZZ
Iklim ber-Jazz di tanah air, sebetulnya sudah dapat dikatakan terasa kesejukannya. Event Jazz secara rutin berkelas internasional sudah terselenggara dengan baik. Masalahnya adalah, iklim sejuk tersebut harus seiring jalan dengan daya apresiasi masyarakat. Apresiasi yang baik dan pas terhadap Musik Jazz. Cheat Jazz, betapapun akan mempengaruhi apresiasi masyarakat akan Musik Jazz. Sayangnya Cheat Jazz sering dan bahkan teramat sering dilakukan sebagai jalan pintas demi seonggok popularitas dan duit yang sebetulnya tidak seberapa dibanding tata nilai yang dikorbankan.

Saya pernah menjumpai kasus ini dalam sebuah festival electone. Seorang anak di bawah 10 tahun usianya, memainkan WATERMELON MAN dari Herbie Hancock. Di bagian ad libitum dia bersolo. Audiens terkesima. Dianggapnya saat itu telah lahir anak ajaib yang kemampuan improvisasinya setara dengan Herbie Hancock. Selidik punya selidik, gurunya melakukan Cheat Jazz. Dengan cara, potongan frase latihan di buku Richigliano digabung-gabung. Cilakanya, si anak tidak diberitahu duduk soalnya. Maka ketika ditanya wartawan, si anak kecil tadi dengan bangganya menganggap dia bisa berimprovisasi.

Cheat Jazz sudah jelas adalah manipulasi yang tidak punya rasa malu dan etika. Persoalan selanjutnya adalah siapa yang mestinya secara moral berkewajiban mengurangi kelakuan cheat Jazz ini. Yang terutama adalah para akademia musik atau PLOPESSOL hehehe… khususnya dengan degree Jazz performance. Merekalah ujung tombak untuk memerangi cheat Jazz ini. Celakanya, ada kalanya dan bisa sering terjadi, para plopessol itu sendiri TANPA SADAR sudah melakukan cheating dalam Jazz. Yakni saat tuntutan dirasa sudah mentok begitu tinggi, mereka akan mengulang frase-frase improvisasi yang itu-itu doang. Yang pernah didapat dari dosennya saat kuliah dulu. Dan sama sekali tidak mengusahakan freshy improvisation. Hanya saja, ya itulah, ini cuma musik, Bung!!!!! Dicurangin juga loe gak bakal rugi. 

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.