Friday, 31 October 2025

KERJA APA? - by: Michael Gunadi | Staccato, November 2025

KERJA APA?
By: Michael Gunadi
Staccato, November 2025


Ketika seorang anak lulus SMA dan memutuskan untuk menjalani profesi sebagai seorang dokter, ada banyak nuansa yang berseliweran di benaknya. Bisa jadi ia memang suka dengan dunia kedokteran. Barangkali nilai biologi nya jauh lebih bagus dari nilai fisikanya. Bisa juga dia bingung antara harus tetap eksis sebagai sosok yang suka science dan hantu yang membisiki bahwa sebagai anaknya si A ia harus mapan secara prestis dan ekonomi. Atau, ini yang paling menggelikan, karena opa oma papa mama nya dokter ya dia harus menjadi dokter. Dan, tidak ada yang salah dengan semua itu. Fine saja. Ok saja.

 

Begitupun dengan seseorang yang ingin menjadi pengacara. Macam-macam nuansa juga yang berseliweran. Sah dan baik jika dia ingin menjadi pengacara karena terinfluence pengacara top yang secara ekonomi sangat mapan. Bagus juga jika ia terusik oleh penegakan hukum yang masih penuh drama. Bisa juga karena Fakultas Hukum adalah satu dari sekian banyak Fakultas yang bisa ditempuh sambil bekerja. Sekali lagi, itu semua Fine, Ok dan sah saja. Lalu....ini persoalan kita. Bagaimana dengan menjadi Pemusik?

 

Pemusik itu beda dengan dokter dan pengacara. Iyalah, makhluk dungu juga paham itu. Bukan begitu. Jika dokter dan pengacara memperoleh kepastian lahan penghasilan, tidak bagi pemusik. Siapa yang berani mengatakan bahwa pemusik memiliki penghasilan yang pasti. Tidak ada. Ana Vidovis, seorang Gitaris Klasik hebat asal Kroatia, dalam sebuah wawancara di situs gitar dengan gamblang menjelaskan. Jadi Pemusik itu berat. Anda harus benar benar TOTAL passion dan cinta musik. Beratnya tuh bahwa pemusik selalu harus menunggu tanpa ada kepastian kapan dia akan bisa konser dan/atau perform untuk mendapat nafkah. Dan sementara menunggu itu, KERJA APA. Mengajar dong. Hahahaha. Tak semua Pemusik bisa mengajar. Lagipula, guru musik itu, fenomenanya bisa dapat murid sekonyong konyong banyak, tapi juga bisa sekonyong konyong lenyap. Sampai di sini menjadi jelas bahwa diperlukan satu “kerja apa” untuk mengatasi problem utama pemusik masa kini yakni menunggu orderan.

Wednesday, 1 October 2025

JUARA | by: Michael Gunadi | Staccato, October 2025

“JUARA”
By: Michael Gunadi
Staccato, October 2025


Ada satu, dua pertanyaan yang sering diajukan khalayak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut sebetulnya klise, membosankan dan memuakkan. Namun anehnya, pertanyaan-pertanyaan tersebut selalu dapat menjadi panduan tolok ukur dan bahkan parameter untuk mengukur perkembangan musik, khususnya “Musik Klasik” , saya beri tanda petik, di tanah air. 


Mengapa orang harus peduli dengan perkembangan “Musik Klasik” di negara seperti Indonesia? Ya jawabnya karena musik, yang klasik itu bisa dianggap sebagai musik seni. Musik yang masih mengedepankan dan mempertahankan ide-ide dan citarasa musikal yang menempatkannya sebagai entitas seni, yang tentu saja dapat memberi masukan bagi siapa saja pada hal yang sifatnya “baik” dan semestinya. 


Tentu saja juga sebagai penyeimbang di tengah maraknya industri dan industrialisasi musik. Industri dan Industrialisasi musik itu sama sekali tidak jelek. Bagus saja. Hanya kadang-kadang, kebutuhan akan cuan dapat membuat sebagian kalangan mengkeremus ide dan kepatutan musik sebagai entitas seni.